Home >Unlabelled > PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TERPADU NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DAN TWO STAY TWO STRAY (TSTS) TERHADAP PRESTASI BELAJAR KIMIA MATERI IKATAN KIMIA PADA SISWA KELAS X IPA SMAN 3 MATARAM
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TERPADU NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) DAN TWO STAY TWO STRAY (TSTS) TERHADAP PRESTASI BELAJAR KIMIA MATERI IKATAN KIMIA PADA SISWA KELAS X IPA SMAN 3 MATARAM
Posted on Sunday, May 8, 2016 by Kozain Park
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TERPADU NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT)
DAN TWO STAY TWO STRAY (TSTS)
TERHADAP PRESTASI BELAJAR KIMIA MATERI IKATAN KIMIA PADA SISWA KELAS X IPA SMAN
3 MATARAM
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Kimia
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram
Oleh:
Pathul Mubin
E1M 010 030
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2015
download file PDF
download
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ilmu
kimia adalah cabang ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mempelajari kajian tentang
struktur, komposisi, sifat, dan perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan tersebut.
Dalam kimia, dipelajari berbagai materi dan perubahannya. Di alam ini, banyak sekali
materi, dan setiap materi itulah yang dipelajari oleh kimia.
SMAN 3 Mataram merupakan sekolah yang pada
Tahun Pelajaran 2014/2015 menggunakan Kurikulum 2013, dengan penerapan Kurikulum
2013 ini guru merasa lebih mudah dalam
menangani para siswa, karena mereka langsung dikelompokkan ke dalam kelas yang
sesuai dengan minat, yaitu ilmu alam atau ilmu sosial. Dibandingkan sebelum
penerapan Kurikulum 2013, siswa lebih sulit dikontrol, karena dalam satu kelas
masih tercampur antara yang minat ilmu
alam dengan ilmu sosial. Kurikulum 2013 bertujuan untuk
membuat siswa menjadi lebih aktif (melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan
mengkomunikasikan pengetahuan mereka setelah pembelajaran), lebih kreatif,
inovatif, dan lebih produktif. Metode pembelajaran yang diterapkan berupa student center, interaktif, belajar
kelompok, dan kritis (Permendikbud Nomor 69 Tahun 2013). Untuk menjalankan Kurikulum 2013 dibutuhkan
model pembelajaran yang bervariasi dan mendukung tujuan dari Kurikulum 2013 itu
sendiri.
Berdasarkan wawancara dengan guru mata
pelajaran kimia di SMAN 3 Mataram, yaitu Ibu Diah Aggraeni, M.Pd. diperoleh
informasi bahwa, pengajaran kimia biasanya meggunakan metode ceramah, sangat
jarang menggunakan metode pengajaran yang lain, sehingga interaksi yang terjadi
juga sangat minim, baik antara siswa dengan guru maupun siswa dengan siswa.
Namun ada beberapa materi yang kadang tidak membutuhkan penjelasan terlalu
banyak, sehingga guru cukup memberikan bahan untuk didiskusikan dengan teman
kelompok. Penggunan model pembelajaranpun jarang digunakan, hal ini yang bisa
menyebabkan antusias siswa dalam belajar masih standar dan tidak meningkat dari
waktu ke waktu.
Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan
metode ceramah secara terus menerus antara lain: kurangnya motivasi siswa untuk
berusaha menemukan sendiri suatu konsep, dalam proses pembelajaran siswa hanya
diam mendengarkan, siswa malu untuk bertanya kepada guru, guru juga enggan
mengulang materi yang diajarkan dan pada saat belajar cenderung menghafal.
Untuk memberikan pengalaman belajar yang
berbeda kepada siswa, dibutuhkan cara-cara yang lebih efektif dan menarik.
Salah satunya dengan pemilihan model pembelajaran yaitu pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim
merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu
membuat siswa belajar. Semua anggota tim harus saling membantu untuk mencapai
tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria keberhasilan pembelajaran
ditentukan oleh keberhasilan tim (Suyanti, 2010).
Ada berbagai tipe model pembelajaran
kooperatif, diantaranya adalah Numbered
Head Together (NHT) dan Two Stay Two
Stray (TSTS). Model pembelajaran kooperatif tipe NHT merupakan suatu model
pembelajaran yang setiap siswanya diberi
nomor dalam suatu
kelompok, guru memberikan pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap-tiap
kelompok, tiap-tiap kelompok diberi kesempatan untuk menemukan jawaban. Pada
kesempatan ini tiap-tiap kelompok menyatukan kepalanya ”Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan dari
guru. Langkah berikutnya adalah guru memanggil peserta didik yang memiliki
nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan memberikan
jawaban atas pertanyaan yang telah diterimanya dari guru. Hal itu dilakukan
terus hingga semua kelompok mendapat giliran memaparkan jawaban. Sedangkan
model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Dua
Tinggal Dua Tamu)
adalah model pembelajaran
dimana diawali dengan pembagian kelompok, guru memberikan permasalahan
yang harus mereka diskusikan. Setelah diskusi
intrakelompok usai, dua
siswa bertamu ke
kelompok lain dan
siswa lainnya tetap
dikelompoknya untuk menerima
dua siswa dari
kelompok lain, kemudian kembali ke kelompok
asal dan melakukan
diskusi kelompok dan melaporkan hasil diskusi kelompok
(Suprijono, 2012).
Hasil penelitian yang pernah dilakukan
oleh Kusuma, dkk (2008) pada materi laju reaksi pada siswa kelas XI IPA SMAN 1
Wirosari terhadap prestasi belajar, menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran
kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Nilai rata-rata
siswa pada siklus I, II, dan III berturut-turut adalah 64,84 (ketuntasan
klasikal 69,77%), 68,93 (ketuntasan klasikal 79,07%), dan 74,79 (ketuntasan
klasikal 86,05%). Hasil belajar yang dicapai dari siklus ke siklus menunjukkan
adanya peningkatan. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Muzalifah (2011), penerapan model pembelajaran koopertif tipe Number Head Together (NHT) memberikan
pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan Think Pair Share (TPS). Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata hasil
kelas eksperimen pertama dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT sebesar 76,26, sedangkan rata-rata hasil kelas eksperimen kedua dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TPS sebesar 69,12.
Penelitian tentang pengaruh penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe TSTS pernah dilakukan oleh Mahyuni (2013)
pada materi sistem koloid, menunjukkan pegaruh
yang lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional, hal ini
dibuktikan dengan rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen sebesar 62,5,
sedangkan kelas kontrol sebesar 55,1.
Dalam menggunakan model pembelajaran terdapat beberapa kelemahan yang
harus diwaspadai, hal ini dilakukan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan dalam pembelajaran, adapun kelemahan-kelemahan model pembelajaran Numbered Head Together (NHT) menurut
Arends (2008) antara lain: 1) siswa yang pandai akan cenderung mendominasi sehingga
dapat menimbulkan sikap minder dan pasif dari siswa yang lemah, 2) proses
diskusi dapat berjalan lancar jika ada siswa yang sekedar menyalin pekerjaan
siswa yang pandai tanpa memiliki pemahaman yang memadai, 3) pengelompokkan
siswa memerlukan pengaturan tempat duduk yang berbeda-beda serta membutuhkan
waktu khusus. Sedangkan untuk model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) jika dilihat dari uraian di atas, maka
kelemahannya antara lain: 1) siswa mudah melepaskan diri dari keterlibatan
diskusi dan tidak memperhatikan guru, 2) guru cenderung sulit untuk pengelolaan
kelas.
Kelemahan masing-masing model di atas dapat diatasi jika kedua model
dipadukan. Adanya penomoran pada masing-masing anggota dalam kelompok pada
model pembelajaran NHT akan dijadikan sebagai tanggung jawab oleh masing-masing
anggota kelompok karena semua siswa harus menguasai materi pembelajaran dan
memiliki peluang yang sama untuk dipanggil oleh guru sehingga siswa tidak mudah
untuk melepaskan diri dari keterlibatan diskusi. Selain itu, pemberian peran
pada model pembelajaran TSTS memungkinkan siswa untuk tidak sekedar menyalin
pekerjaan siswa yang pandai tanpa memiliki pemahaman yang memadai karena hasil
diskusi yang telah didiskusikan akan disampaikan kembali pada anggota kelompok
awal. Dengan memadukan kedua model tersebut diharapkan dapat menghasilkan
pembelajaran yang lebih baik.
Hasil penelitian yang pernah dilakukan
oleh Antasari (2010) pada materi alkana, alkena, alkuna pada siswa MAN 3 Malang terhadap prestasi belajar,
menunjukkan bahwa penerapan kombinasi model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together dan Two Stay Two Stray berpengaruh terhadap
hasil belajar. Hasil belajar siswa kelas eksperimen lebih tinggi (rata-rata
kelas 83,54) dibandingkan dengan siswa kelas kontrol (rata-rata kelas 70,09).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Terpadu Numbered Head Together (NHT) dan Two Stay Two Stray (TSTS) terhadap Prestasi Belajar Kimia Materi
Ikatan Kimia pada Siswa Kelas X IPA SMAN 3 Mataram.”
1.2 Batasan
Masalah
Agar pelaksanaan penelitian ini lebih terarah
maka perlu dilakukan pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Model pembelajaran kooperatif terpadu Numbered Head Together dan Two Stay Two Stray adalah model pembelajaran
yang menggabungkan ke 2 tipe pembelajaran kooperatif tersebut yang digunakan
dalam kelas eksperimen.
2. Subyek penelitian adalah siswa kelas X IPA
SMAN 3 Mataram semester ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015.
3. Materi yang diajarkan yaitu materi ikatan
kimia yang meliputi kestabilan unsur–unsur kimia di alam, ikatan ion, ikatan kovalen, bentuk/geometri molekul
senyawa kovalen, kepolaran senyawa kovalen, gaya tarik antarmolekul, ikatan logam, dan
sifat fisis senyawa ion, senyawa kovalen, dan logam.
4. Prestasi belajar yang dimaksud adalah
hasil belajar dalam aspek kognitif yang diukur menggunakan tes prestasi belajar
materi ikatan kimia.
1.3 Rumusan
Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Apakah model pembelajaran
kooperatif terpadu Numbered Head Together (NHT) dan Two Stay Two Stray (TSTS) memberikan pengaruh yang lebih baik
daripada metode konvensional (ceramah dan diskusi) terhadap prestasi belajar
kimia materi ikatan kimia pada siswa kelas X IPA SMAN 3 Mataram ?”
1.4 Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
model pembelajaran kooperatif
terpadu Numbered Head Together (NHT) dan
Two Stay Two Stray (TSTS) terhadap
prestasi belajar kimia materi ikatan kimia pada siswa kelas X IPA SMAN 3
Mataram.
1.5 Manfaat
Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1.
Dapat dijadikan sebagai model pembelajaran yang
dapat membantu siswa dalam memahami konsep-konsep kimia.
2.
Dapat menjadi alternatif bagi guru
dalam mengajar agar proses pembelajaran berlangsung lebih efektif.
3.
Dapat mengembangkan pola pikir dan
kreativitas peneliti dalam mengembangkan model pembelajaran serta memperkaya wawasan
strategi pembelajaran yang berguna bagi profesi peneliti di masa yang akan
datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan
Teori
2.1.1
Hakikat Belajar
Pada dasarnya belajar merupakan suatu proses
yang berakhir pada perubahan. Belajar tidak pernah memandang siapa pengajarnya,
dimana tempatnya dan apa yang diajarkan. Tetapi dalam hal ini lebih menekankan
pada hasil dari pembelajaran tersebut. Perubahan apa yang terjadi setelah
melakukan pembelajaran. Seringkali kita mendengar kata “belajar” bahkan tidak
jarang pula menyebutkannya, tetapi kita belum mengetahui secara detail makna
apa yang sebernarnya terkandung dalam belajar itu.
Purwanto dalam Rusman (2012) menyebutkan bahwa
pengertian belajar itu banyak sekali, beberapa ahli menyebutkan definisi
belajar antara lain: a) menurut Hilgard dan Bower, dalam bukunya Theoris of Learning mengemukakan “belajar
berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi
tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi
itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar respon
kecendrungan pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang (misalnya
kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya)”, b) menurut Gagne, dalam bukunya The Condition of Learning menyatakan
bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan
mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (performance-nya) berubah dari waktu sebelum dia mengalami situasi
itu ke waktu sesudah mengalami situasi tadi”, c) menurut Morgan dalam bukunya Introduction of psychology mengemukakan
bahwa “belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku
yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman”, d) menurut
Witherington, dalam bukunya Education
Psychology mengemukakan bahwa “belajar
adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakn diri sebagai pola
baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau
suatu pengertian”.
Berdasarkan pengertian-pengertian belajar di
atas dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada tiga komponen dalam kegiatan belajar
yakni: sesuatu yang dipelajari, proses belajar, dan hasil belajar. Rangkaian
kegiatan belajar di atas dapat diilustrasikan pada gambar berikut:
Gambar
2.1 Ilustrasi kegiatan belajar
2.1.2
Prestasi Belajar
Prestasi belajar adalah hasil penilaian
pendidikan tentang kemajuan siswa setelah melakukan aktivitas belajar
(Djamarah, 2012). Prestasi belajar biasanya ditunjukkan dengan angka dan nilai
sebagai laporan hasil belajar peserta didik kepada orang tuanya (Fathurrohman
dan Sulistyorini, 2012).
2.1.3
Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Pencapaian prestasi yang baik merupakan usaha
yang tidak mudah, karena prestasi belajar dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Dalam pendidikan formal, guru sebagai pendidik harus dapat mengetahui
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa tersebut, karena
sangat penting untuk dapat membantu siswa dalam rangka pencapaian prestasi yang
diharapkan.
Untuk
mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar dibagi menjadi faktor yang berasal dari dalam (internal) dan luar
(eksternal) diri siswa.
A. Faktor Internal
Faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam
diri siswa meliputi faktor jasmaniah (fisiologis) dan faktor psikologis.
1.
Faktor Jasmaniah
Faktor jasmaniah berkaitan dengan kondisi pada organ-organ tubuh
manusia yang berpengaruh pada kesehatan manusia. Siswa yang memiliki cacat
tubuh, kelainan fungsi kelenjar tubuh yang membawa kelainan tingkah laku dan
kelainan pada indera, terutama indera penglihatan dan pendengaran akan sulit
menyerap informasi yang diberikan guru di dalam kelas (Fathurrohman dan
Sulistyorini, 2012).
Seperti dikatakan dalam Ahmadi dan Prasetya (2005), membaca, melihat
contoh atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen,
mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan keterangan
orang lain dalam diskusi, dan sebagainya hampir tidak dapat lepas dari indera
penglihatan dan pendengaran.
2.
Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar adalah faktor yang
berasal dari sifat bawaan siswa sejak lahir maupun dari apa yang telah
diperoleh dari belajar selama ini (Fathurrohman dan Sulistyorini, 2012). Adapun
faktor yang tercakup dalam faktor psikologis, yaitu intelegensi atau
kecerdasan, perhatian, minat, bakat, motivasi siswa, kematangan, dan kesiapan.
B. Faktor Eksternal
Faktor eksternal atau faktor yang berasal dari luar
diri siswa meliputi faktor keluarga, faktor sekolah, dan lingkungan masyarakat.
1.
Faktor Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak merasakan pendidikan,
karena di dalam keluargalah anak tumbuh dan berkembang dengan baik, sehingga
secara langsung maupun tidak langsung keberadaan keluarga akan mempengaruhi
keberhasilan belajar anak (Fathurrohman dan Sulistyorini, 2012).
2.
Faktor Sekolah
Faktor sekolah yang mempengaruhi belajar antara lain metode mengajar,
kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin
sekolah, pelajaran dan waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode
belajar dan tugas rumah (Slameto, 2010).
3.
Faktor Lingkungan Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh terhadap
belajar siswa. Pengaruh itu terjadi karena keberadaan siswa dalam masyarakat.
Faktor-faktor yang ada dalam masyarakat antara lain kegiatan siswa dalam
masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat (Slameto,
2010).
2.1.4
Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif (cooperative
learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari
empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen (Rusman, 2012).
Pada hakikatnya cooperative
learning sama dengan kerja
kelompok. Oleh karena itu, banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang
aneh dalam cooperative learning
karena mereka beranggapan telah biasa melakukan
pembelajaran cooperative learning
dalam bentuk belajar kelompok. Cooperative
learning merupakan kegiatan belajar siswa yang dilakukan dengan cara berkelompok. Sanjaya dalam Suprijono (2012) mengatakan, model pembelajaran
kelompok adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam
kelompok-kelompok tertentu untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan.
Sedangkan menurut Sugiyanto (2010), pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih
asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan
permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen-elemen yang
saling terkait. Elemen-elemen pembelajarang kooperatif menurut Lie dalam Rusman (2012)
adalah: (1)
saling ketergantungan positif; (2) interaksi tatap muka; (3) akuntabilitas
individual, dan (4) keterampilan untuk
menjalin hubungan antarpribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Dalam pembelajaran kooperatif proses pembelajaran tidak harus belajar
dari guru kepada siswa. Siswa dapat saling membelajarkan sesama siswa lainnya. Pembelajaran oleh rekan sebaya (peerteaching) lebih efektif dari pada pembelajaran
oleh guru. Cooperative learning adalah teknik pengelompokan yang didalamnya siswa bekerja terarah pada
tujuan belajar bersama dalam kelompok kecil yang umumya terdiri dari 4-5 orang.
Strategi pembelajaran kooperatif merupakan rangkaian kegiatan
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa di dalam kelompok, untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan. Terdapat empat hal penting dalam strategi
pembelajaran kooperatif, yakni: 1) adanya peserta didik dalam kelompok, (2)
adanya aturan main (role) dalam
kelompok, (3) adanya upaya belajar dalam kelompok, dan (4) adanya kompetensi
yang harus dicapai oleh kelompok. Berkenaan dengan pengelompokan siswa dapat ditentukan berdasarkan atas:
(1) minat dan bakat siswa, (2) latar belakang kemampuan siswa, (3) perpaduan
antara minat dan bakat siswa dan latar kemampuan siswa.
Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang banyak digunakan dan
menjadi perhatian serta dianjurkan oleh para ahli pendidikkan. Hal ini dikarenakan
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Slavin dalam Warsono dan Hariyanto (2012) dinyatakan bahwa: (1) penggunaan pembelajaran dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap
toleransi, dan menghargai pendapat orang lain, (2) pembelajaran kooperatif
dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan
mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman. Dengan alasan tersebut,
strategi pembelajaran kooperatif diharapkan mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang
menggunakan pembelajaran kooperatif, pelajaran dimulai dengan guru meyampaikan
tujuan pelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh
penyajian informasi, seringkali dengan bacaan daripada verbal. Selanjutnya,
siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahap ini diikuti bimbingan guru
pada saat siswa bekerja bersama untuk menyelesaikan tugas bersama mereka. Fase
terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja
kelompok, atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi
penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
Tabel 2.1 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif.
TAHAP
|
TINGKAH LAKU GURU
|
Tahap 1
Penyampaian
tujuan dan memotivasi siswa
|
Guru
menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan
pentingnya topik yang akan dipelajari dan memotivasi siswa belajar.
|
Tahap 2
Menyajikan
informasi
|
Guru
menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau
melalui bahan bacaan.
|
Tahap 3
Mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
|
Guru
menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan
membimbing setiap kelompok agar melakukan transisi secara efektif dan
efisien.
|
Tahap 4
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar
|
Guru
membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas
mereka.
|
Tahap 5
Evaluasi
|
Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
|
Tahap 6
Memberikan
penghargaan
|
Guru
mecari cara-cara untuk meghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan
kelompok.
|
2.1.5
Kekuatan Pembelajaran Kooperatif
Spencer Kagan dalam Warsono dan Hariyanto
(2012) yang dikenal dunia sebagai “guru” bagi pembelajaran kooperatif telah
mengidentifikasi 17 kekuatan atau keuntungan (pros) dari implementasi pembelajaran kooperatif yang dinyatakan
sebagai berikut:
1)
Meningkatkan
prestasi akademik
2)
Meningkatkan
saling pengertian antar ras dan antar etnik
3)
Meningkatkan
kepercayaan diri
4)
Meningkatkan
tumbuhnya empati
5)
Meningkatkan
berbagai keterampilan sosial seperti mau mendengar, resolusi konflik, sabar
untuk antri menunggu giliran, keterampilan kepemimpinan, serta keterampilan
bekerja sama dalam tim kerja
6)
Mempererat
hubungan sosial
7)
Iklim
kelas menjadi baik dengan meningkatnya kesukaan bersekolah, kesukaan asyik
dalam kelas, kesukaan belajar isi/kurikulum pembelajaran dan kesukaan terhadap
guru
8)
Meningkatkan
inisiatif siswa dan tanggung jawab untuk memperoleh pencapaian yang baik dalam
belajar, meningkatkan kontrol diri para siswa untuk tidak mengabaikan
pembelajaran
9)
Meningkatkan
keterampilan untuk menerima perbedaan
10) Salah satu jalan menuju tahap pemikiran tingkat
tinggi adalah berinteraksi dengan sudut pandang yang berbeda
11) Meningkatkan tanggung jawab pribadi
12) Meningkatkan partisipasi secara setara dan
adil, misalnya dalam pelaksanaan struktur thing
pair share, setiap anggota memiliki waktu yang sama untuk mengutarakan
gagasannya
13) Meningkatkan durasi partisipasi
14) Memperbaiki orientasi sosial
15) Memperbaiki orientasi pembelajaran
16) Meningkatkan pengetahuan pribadi
17) Meningkatkan kecakapan sebagai pekerja
2.1.6
Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together
Pembelajaran
dengan menggunakan metode
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together
diawali dengan Numbering. Guru
membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Jumlah kelompok sebaiknya
mempertimbangkan jumlah konsep yang dipelajari. Jika jumlah peserta didik dalam
satu kelas terdiri dari 40 orang dan terbagi menjadi 5 kelompok berdasarkan
jumlah konsep yang dipelajari, maka tiap kelompok terdiri 8 orang. Tiap-tiap
orang dalam tiap-tiap kelompok diberi nomor 1-8. Setelah kelompok terbentuk
guru mengajukan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh tiap-tiap kelompok.
Berikan kesempatan kepada tiap-tiap kelompok menemukan jawaban.
Menurut Nurhadi dan Senduk (2004), kelebihan
NHT sebagai berikut :
1. Terjadinya interaksi antara siswa melalui diskusi/siswa secara bersama dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
2. Siswa pandai maupun siswa lemah sama-sama memperoleh manfaat melalui
aktifitas belajar kooperatif.
3. Dengan bekerja secara kooperatif ini, kemungkinan konstruksi
pengetahuan akan manjadi lebih besar/kemungkinan untuk siswa dapat sampai pada
kesimpulan yang diharapkan.
4. Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan keterampilan
bertanya, berdiskusi, dan mengembangkan bakat kepemimpinan.
Pada
kesempatan ini tiap-tiap kelompok menyatukan kepalanya “Heads Together” berdiskusi memikirkan jawaban atas pertanyaan dari
guru. Langkah berikutnya adalah guru memanggil peserta didik yang memiliki
nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan memberi
jawaban atas pertanyaan yang telah diterimanya dari guru. Hal itu
dilakukan terus hingga semua peserta
didik dengan nomor yang sama dari masing-masing kelompok mendapat giliran memaparkan
jawaban atas pertanyaan guru. Berdasarkan jawaban-jawaban itu guru dapat
mengembangkan diskusi lebih mendalam, sehingga peserta didik dapat menemukan
jawaban pertanyaan itu sebagai pengetahuan yang utuh (Suprijono, 2012).
Sintaks atau cara kerjanya (Warsono dan Hariyanto, 2012)
1) Siswa dikelompokkan dalam kelompok
masing-masing terdiri dari 4 orang, diberi nomor 1-4
2) Guru mengajukan sebuah pertanyaan
3) Kelompok saling mendekat dan mencoba menjawab
bersama
4) Guru memanggil salah satu nomor
5) Siswa dengan nomor yang dipanggil berdiri untuk
menjawab pertanyaan
6) Guru mengizinkan setiap siswa yang berdiri dari
setiap kelompok untuk saling bertukar pikiran dengan siswa bernomor sama dari
kelompok yang lain tentang jawaban kelompoknya
7) Kegiatan ini diulang kembali oleh guru sampai
semua petanyaan terjawab habis
2.1.7
Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray
Two Stay Two Stray
memberi kesempatan kepada
kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Banyak kegiatan
belajar mengajar
yang diwarnai dengan kegiatan individu. Siswa bekerja sendiri dan tidak
diperbolehkan melihat pekerjaan
siswa yang lain. Padahal di dalam kenyataan hidup di luar sekolah, kehidupan
dan kerja manusia saling
bergantung satu dengan yang lainnya (Sugiyanto, 2010).
Langkah-langkahnya :
1) Siswa
dibagi ke dalam beberapa kelompok berempat
2) Siswa
bekerja sama dalam kelompok berempat seperti biasa
3) Setelah
selesai, dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya
dan masing-masing bertamu ke dua kelompok lain
4) Dua
orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi
mereka ke tamu mereka
5) Tamu
mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka
dari kelompok lain
6) Kelompok
mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka
Sedangkan menurut Warsono dan Hariyanto (2012),
sintaks atau cara kerjanya sebagai berikut:
1) Siswa dibagi dalam kelompok 4 orang
2) Guru mengajukan pertanyaan atau suatu topik
untuk dibahas
3) Siswa semula bekerja dalam kelompok terlebih
dahulu, setelah selesai, dua orang siswa dari masing-masing kelompok
meninggalkan kelompoknya dan bertamu di kelompok yang lain didekatnya
4) Dua orang yang tinggal dalam setiap kelompok
bertugas menjelaskan hasil kerja atau membagikan informasi yang diperoleh
kelompoknya semula, kepada dua orang tamunya. Siswa tamu kembali ke kelompoknya
semula dan membagikan informasi yang diperolehnya selama bertamu kepada anggota
kelompoknya
5) Anggota kelompok mencocokkan hasil pemikiran
kelompok semula dengan hasil bertamu
Metode pembelajaran Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua
Tamu) memiliki kelebihan antara lain (Ibrahim, 2000) :
1. Dapat diterapkan pada semua kelas/tingkatan.
2. Belajar siswa lebih bermakna.
3. Lebih berorientasi pada keaktifan berpikir
siswa.
4. Meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa.
5. Memberikan kesempatan terhadap siswa untuk
menentukan konsep sendiri dengan cara memecahkan masalah
6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menciptakan kreatifitas dalam melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya
7. Membiasakan siswa untuk bersikap terbuka
terhadap teman
8. Meningkatkan motivasi belajar siswa.
2.1.8
Model Pembelajaran Kooperatif Terpadu Numbered Head Together dan Two Stay Two Stray
Sintaks atau langkah-langkah model pembelajaran
kooperatif terpadu Numbered Head Together dan Two
Stay Two Stray sebagai berikut:
1.
Siswa
dibagi dalam kelompok berempat. Setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor.
2.
Guru
memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3.
Kelompok
memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota
kelompok mengetahui jawaban.
4.
Setelah
selesai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan
bertemu dengan dua orang dari kelompok lain yang memiliki nomor yang sama.
5.
Dua
orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan mereka ke
tamu mereka yang memiliki nomor yang sama.
6.
Tamu
mohon diri dan kembali ke kelompoknya dan melaporkan temuan mereka dari
kelompok lain.
7.
Kelompok
mencocokkan dan membahasan hasil kerja mereka.
8.
Guru
memanggil salah satu nomor, siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerja mereka.
2.2 Materi Ikatan
Kimia
2.2.1
Konfigurasi
Elektron
Gas Mulia
Dibandingkan
dengan unsur-unsur lain, unsur gas mulia merupakan unsur yang paling stabil.
Kestabilan ini disebabkan
susunan elektronnya berjumlah 8 elektron di kulit
terluar, kecuali helium (mempunyai konfigurasi elektron penuh).
Hal
ini dikenal dengan konfigurasi oktet, kecuali helium dengan konfigurasi duplet.
Tabel 2.2 Konfigurasi
elektron unsur - unsur gas mulia
Unsur-unsur
lain dapat mencapai konfigurasi oktet dengan membentuk ikatan agar dapat
menyamakan konfigurasi elektronnya dengan konfigurasi elektron gas mulia
terdekat. Kecenderungan ini disebut aturan oktet. Konfigurasi oktet
(konfigurasi stabil gas mulia) dapat dicapai dengan melepas, menangkap, atau
memasangkan elektron.
2.2.2
Ikatan
Ion
Menurut
James E. Brady
dalam Utami, dkk (2009), ikatan ion adalah ikatan yang terjadi
akibat perpindahan elektron dari satu atom ke atom lain. Ikatan ion terbentuk antara
atom yang melepaskan elektron (logam) dengan atom yang menangkap elektron
(bukan logam). Atom logam, setelah melepaskan elektron berubah menjadi ion
positif. Sedangkan atom
bukan logam, setelah menerima elektron berubah menjadi ion
negatif. Antara ion-ion yang berlawanan muatan ini terjadi tarik-menarik (gaya
elektrostastis) yang disebut ikatan ion (ikatan elektrovalen). Ikatan ion
merupakan ikatan yang relatif kuat. Pada suhu kamar, semua senyawa ion berupa
zat padat kristal dengan struktur tertentu. Dengan mengunakan lambang Lewis,
pembentukan NaCl digambarkan sebagai berikut.
2.2.3
Ikatan
Kovalen
Menurut James E. Brady dalam Utami, dkk (2009),
ikatan kovalen adalah
ikatan yang terjadi akibat pemakaian pasangan elektron secara bersama-sama
oleh dua atom ikatan
kovalen terbentuk di antara dua atom yang sama-sama ingin menangkap elektron
(sesama atom bukan logam).
Cara atom-atom saling mengikat dalam suatu molekul dinyatakan oleh rumus bangun
atau rumus struktur. Rumus struktur diperoleh dari rumus Lewis dengan mengganti
setiap pasangan elektron ikatan dengan sepotong garis. Misalnya, rumus bangun H2 adalah
H – H.
Contoh:
a)
Ikatan antara atom H
dan atom Cl dalam HCl
Konfigurasi
elektron H dan Cl adalah:
H : 1 (memerlukan 1 elektron)
Cl : 2, 8, 7 (memerlukan 1 elektron)
Masing-masing
atom H dan Cl memerlukan 1 elektron, jadi 1 atom H akan
berpasangan
dengan 1 atom Cl.
Lambang Lewis
ikatan H dengan Cl dalam HCl
b)
Ikatan antara atom H
dan atom O dalam H2O
Konfigurasi
elektron H dan O adalah:
H
: 1 (memerlukan 1 elektron)
O
: 2, 6 (memerlukan 2 elektron)
Atom
O harus memasangkan 2 elektron, sedangkan atom H hanya memasangkan 1 elektron.
Oleh karena itu, 1 atom O berikatan dengan 2 atom H.
Lambang
Lewis ikatan antara H dengan O dalam H2O
Rumus Lewis
Rumus bangun Rumus molekul
Dua
atom dapat membentuk ikatan dengan sepasang, dua pasang, atau tiga pasang
elektron bergantung pada jenis unsur yang berikatan. Ikatan kovalen yang hanya
melibatkan sepasang elektron disebut ikatan tunggal (dilambangkan dengan satu
garis), sedangkan ikatan kovalen yang melibatkan lebih dari sepasang elektron
disebut ikatan rangkap. Ikatan yang melibatkan dua pasang elektron disebut
ikatan rangkap dua (dilambangkan
dengan dua garis), sedangkan ikatan yang melibatkan tiga pasang elektron
disebut ikatan rangkap tiga (dilambangkan dengan tiga garis).
2.2.4
Ikatan
Kovalen Koordinasi
Ikatan
kovalen koordinasi adalah ikatan kovalen dimana pasangan elektron yang dipakai bersama hanya disumbangkan oleh
satu atom, sedangkan atom yang satu lagi tidak menyumbangkan elektron. Ikatan
kovalen koordinasi hanya dapat terjadi jika salah satu atom mempunyai pasangan
elektron bebas (PEB).
Contoh:
Atom
N pada molekul amonia, NH3, mempunyai satu PEB. Oleh karena itu
molekul NH3dapat mengikat ion H+ melalui ikatan kovalen
koordinasi, sehingga menghasilkan ion amonium, NH4+.
Dalam ion NH4+ terkandung empat ikatan, yaitu tiga ikatan
kovalen dan satu ikatan kovalen koordinasi.
2.2.5
Polarisasi
Ikatan Kovalen
Kedudukan
pasangan elektron ikatan tidak selalu simetris terhadap kedua atom yang
berikatan. Hal ini disebabkan karena setiap unsur mempunyai daya tarik elektron
(keelektronegatifan) yang berbeda-beda. Salah satu akibat dari
keelektronegatifan adalah terjadinya polarisasi pada ikatan kovalen. Perhatikan
contoh berikut:
Pada
contoh (a), kedudukan pasangan elektron ikatan sudah pasti simetris terhadap
kedua atom H. Dalam molekul H2 tersebut muatan negatif (elektron)
tersebar homogen. Hal ini dikenal dengan ikatan kovalen nonpolar. Pada contoh
(b), pasangan elektron ikatan tertarik lebih dekat ke atom Cl karena Cl
mempunyai daya tarik elektron lebih besar daripada H. Hal ini menyebabkan
adanya polarisasi pada HCl, di mana atom Cl lebih negatif daripada atom H.
Ikatan seperti ini dikenal dengan ikatan kovalen polar. Kepolaran dinyatakan
dengan momen dipol (μ), yaitu hasil kali antara muatan (Q) dengan jarak (r).
2.2.6
Ikatan
Logam
Ikatan
elektron-elektron valensi dalam atom logam bukanlah ikatan ion, juga bukan
ikatan kovalen sederhana. Suatu logam terdiri dari suatu kisi ketat dari ion-ion positif dan disekitarnya
terdapat lautan (atmosfer) elektron-elektron valensi. Elektron valensi ini
terbatas pada permukaan-permukaan energi tertentu, namun mempunyai cukup
kebebasan, sehingga elektron-elektron ini tidak terus-menerus digunakan bersama
oleh dua ion yang sama. Bila diberikan energi, elektron-elektron ini mudah
dioperkan dari atom ke atom. Sistem ikatan ini unik bagi logam dan dikenal
sebagai ikatan logam.
2.3 Kerangka Berpikir
Upaya yang diperlukan untuk
siswa aktif dalam belajar di kelas selalu bergantung pada guru. Keberhasilan
pembelajaran merupakan hal utama yang didambakan dalam pelaksanaan pendidikan. Agar
pembelajaran berhasil, guru harus membimbing siswa, sehingga mereka dapat mengembangkan
pengetahuannya sesuai dengan struktur pengetahuan bidang studi yang
dipelajarinya. Untuk mencapai keberhasilan itu guru harus dapat memilih metode
pembelajaran yang tepat untuk dapat diterapkan dalam pembelajaran.
Prestasi belajar atau
disebut juga dengan hasil belajar siswa, dapat dilihat dengan adanya perubahan
tingkah laku pada diri siswa yang merupakan hasil proses belajar mengajar yang
mereka alami. Pendekatan pembelajaran inovatif yang dapat diterapkan oleh guru
sehingga dapat meningkatkan hasil belajar dan sekaligus dapat meningkatkan
aktivitas siswa, serta memberi iklim yang kondusif dalam perkembangan daya
nalar dan kreatifitas siswa adalah dengan pembelajaran kooperatif. Dengan
pembelajaran kooperatif ini siswa termotivasi untuk belajar menyampaikan
pendapat dan bersosialisasi dengan teman. Guru disini hanya sebagai fasilitator
dan motivator dalam pembelajaran.
Selama ini metode atau
model pembelajaran kimia yang diterapkan khususnya di SMAN 3 Mataram adalah
menitik beratkan guru sebagai sumber informasi dalam jumlah besar. Hal ini akan
membuat siswa menjadi jenuh, malas membaca, bergantung pada catatan yang
diberikan guru tanpa memahami isinya, maka perlunya pembelajaran sehingga siswa
mampu terampil memecahkan masalahnya sendiri, menjadi siswa yang mandiri serta
berkinerja dalam kehidupan yang nyata.
Salah satu strategi model
pembelajaran kooperatif yang dapat meningkatkan prestasi belajar kimia yang
mungkin dapat dilakukan adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif
terpadu tipe Numbered Head Together dan
Two Stay Two Stray. Dengan strategi
tersebut, diharapkan prestasi belajar siswa akan menjadi lebih meningkat.
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah “Model pembelajaran
kooperatif terpadu Numbered Head Together
dan Two Stay Two Stray memberikan
pengaruh yang lebih baik daripada metode konvensional (ceramah dan diskusi)
terhadap prestasi belajar kimia materi ikatan kimia pada siswa kelas X IPA SMAN
3 Mataram.”
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1
Waktu
dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan
Oktober sampai November 2014 di SMAN 3 Mataram pada siswa kelas X IPA Tahun Pelajaran
2014/2015.
3.2
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian quasi experimental. Menurut Setyosari (2013), dalam quasi experimental peneliti tidak
memilih secara random untuk menetapkan subjek yang dilibatkan dalam perlakuan.
Sebagai subjek dalam penelitian ini, siswa telah terbentuk menjadi satu
kesatuan kelas yang telah terstruktur oleh sekolah. Sehingga secara
administratif tidak memungkinkan bagi peneliti untuk me-random siswa untuk
dijadikan kelas eksperimen dan sebagainya. Sugiyono (2012) juga menerangkan bahwa desain ini mempunyai
kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol
variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen.
Desain penelitian yang digunakan adalah posttest-only control design, dimana dalam desain ini terdapat dua
kelompok yang masing-masing dipilih secara random (R). Kelompok pertama diberi
perlakuan (X) dan kelompok lain tidak. Kelompok yang diberi perlakuan disebut
kelompok eksperimen dan kelompok yang tidak diberi perlakuan disebut kelompok
kontrol (Sugiyono, 2012). Kelas eksperimen diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif
terpadu Numbered Head Together dan Two Stay Two Stray sedangkan kelas
kontrol diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran konvensional (ceramah
dan diskusi), kemudian kedua kelas akan diberikan posttest untuk mengetahui
prestasi belajar masing-masing.
Tabel 3.1
Rancangan Penelitian
Kelas
|
Model Pembelajaran
|
Posttest
|
Eksperimen
|
Kooperatif terpadu Numbered Head
Together dan Two Stay Two Stray
|
Ya
|
Kontrol
|
Metode konvensional (ceramah dan diskusi)
|
Ya
|
3.3
Variabel
Penelitian
Variabel yang diamati berupa
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas adalah variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
dependen (terikat), sedangkan variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2012). Riyanto
(2001) memberikan contoh dalam bidang pendidikan adalah prestasi belajar
sebagai pokok persoalannya (variabel terikat). Variabel terikat tersebut
tergantung kepada banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang
mempengaruhinya tersebut sebagai variabel bebas. Variabel bebasnya dapat berupa
metode mengajar.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah metode pembelajaran yang digunakan pada kelas sampel, sedangkan variabel terikatnya adalah prestasi belajar kimia siswa.
3.4
Populasi
dan Sampel Penelitian
3.4.1
Populasi
Populasi
dalam penelitian kuantitatif diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2012). Populasi
menurut Fraenkel dan Wallen (dalam Sugiyono, 2012) adalah kelompok yang menarik
peneliti, dimana kelompok tersebut oleh peneliti dijadikan sebagai obyek untuk
menggeneralisasikan hasil penelitian.
Pada penelitian
ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas
X IPA SMA Negeri 3 Mataram Tahun Pelajaran
2014/2015. Populasi kelas X IPA
sebanyak 5 kelas, yaitu kelas X IPA 1, X IPA 2, X IPA 3, X IPA 4, dan X IPA 5.
3.4.2
Sampel
Sampel
merupakan bagian dari jumlah dan karkteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut (Sugiyono, 2012). Menurut Riyanto
(2001) sampel adalah bagian dari populasi. Jenis sampel yang diambil harus
mencerminkan populasi. Sampel dapat didefinisikan sebagai sembarang himpunan
yang merupakan bagian dari suatu populasi.
Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, dimana pengambilan sampel dilakukan hanya atas
dasar pertimbangan penelitinya saja yang menganggap unsur-unsur yang
dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil. Dalam hal ini,
pertimbangan yang digunakan antara lain homogenitas kedua kelas, jumlah siswa
yang paling mendekati sama diantara sejumlah kelas yang ada, dan juga rata-rata
nilai yang paling mendekati sama. Homogenitas kelas dipertimbangkan akan
memberikan informasi yang lebih valid dibandingkan bila digunakan kelas yang
tidak homogen. Sedangkan jumlah siswa dan nilai rata-rata yang paling mendekati
sama dipertimbangkan dapat menambah kesetaraan bila kedua kelas tersebut
dibandingkan. Sampel ditentukan
berdasarkan atas pertimbangan guru mata pelajaran kimia yang mengajar pada
kelas yang sama. Dari hasil ulangan kimia materi struktur atom dan sistem
periodik unsur, didapatkan kedua sampel homogen dan tidak ada perbedaan
diantara kedua kelas.
3.5
Prosedur
Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap perencanaan
dan pelaksanaan penelitian.
3.5.1
Tahap
Perencanaan Penelitian
Tahap
persiapan penelitian ini meliputi beberapa langkah diantaranya: observasi awal
ke SMAN 3 Mataram, analisis silabus dan pengembangan RPP, penyusunan lembar
kerja siswa (LKS), pembuatan kisi-kisi instrument prestasi belajar.
3.5.1.1
Observasi
Awal ke SMAN 3 Mataram
Observasi awal
dilakukan peneliti guna mendapatkan data, berupa hasil wawancara dengan guru
mata pelajaran kimia dan nilai siswa yang akan digunakan sebagai data awal
dalam penelitian ini. (Lampiran 1)
3.5.1.2
Analisis
Silabus dan Pengembangan
RPP
Pada tahap analisis silabus dilakukan analisis
tentang Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada
materi pokok ikatan kimia. Kemudian dari KI dan KD tersebut
dikembangkan indikator-indikator pencapaian, uraian kegiatan belajar,
penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar untuk setiap kegiatan
pembelajaran. Setelah itu, penyusunan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) dilakukan
dengan mengacu pada silabus yang telah dianalisis sebelumnya. Dibuat dua RPP
untuk keperluan penelitian ini, yakni RPP untuk kelas eksperimen yang
melibatkan penerapan model pembelajaran kooperatif terpadu Numbered
Head Together dan
Two Stay Two Stray dan RPP untuk
kelas kontrol yang menggunakan penerapan metode konvensional (ceramah dan diskusi). (Lampiran 7, 8, dan 9)
3.5.1.3
Penyusunan
Lembar Kerja Siswa (LKS)
LKS ini disusun
sebagai sarana penunjang proses pembelajaran yang berupa lembaran-lembaran
kertas yang berisi informasi soal-soal atau pertanyaan yang harus dijawab siswa
dalam berdiskusi. Selain itu juga LKS dapat meningkatkan minat siswa untuk
belajar jika kegiatan belajar yang dipandu melalui LKS lebih sistematis, berwarna
dan bergambar serta menarik perhatian siswa.
(Lampiran 10)
3.5.1.4
Pembuatan
Kisi-Kisi Instrumen Prestasi Belajar
Jenis instrumen
berupa tes objektif pilihan ganda (multiple
choice test) yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan siswa setelah
mengikuti pembelajaran menggunakan model kooperatif terpadu Numbered Head Together dan Two Stay Two Stray. (Lampiran
13)
3.5.2
Tahap
Pelaksanaan Penelitian
Tahap-tahap
pelaksanaan kegiatan pembelajaran di kelas sesuai skenario yang telah
direncanakan dalam RPP yang sudah dipersiapkan untuk setiap pertemuan. Proses
pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol dilaksanakan 5 kali pertemuan dengan
alokasi waktu disetiap pertemuan 3
x 45 menit. Di kelas
eksperimen akan diterapkan model pembelajaran kooperatif terpadu Numbered Head Together dan Two Stay Two Stray pada proses belajar
mengajar, sedangkan pada kelas kontrol diterapkan metode ceramah dan diskusi.
3.6
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa macam teknik pengumpulan data
yang secara ringkas tercantum dalam Tabel 3.2.
Tabel
3.2
Teknik Pengumpulan Data
Variabel
|
Data
|
Sumber Data
|
Cara Mendapatkan
|
Kemampuan awal
siswa
|
Nilai
|
Siswa
|
Nilai ulangan harian Struktur
Atom dan Sistem Priodik Unsur
|
Prestasi belajar siswa
|
Nilai
|
Siswa
|
Tes hasil belajar (multiple choice posttest)
|
Aktivitas guru dan siswa
|
Skor
|
Guru dan Siswa
|
Lembar Observasi
|
3.7
Instrumen
Penilaian
3.7.1
Tes
Hasil Belajar
Tes
hasil belajar adalah tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian siswa setelah
mempelajari materi ikatan kimia. Tes diberikan berupa soal pilihan ganda. (Lampiran
14).
3.7.2
Lembar
Observasi
Lembar observasi ini berisi kegiatan pembelajaran untuk
setiap konsep yang dikaji dari aktivitas guru dan siswa. Indikator yang
digunakan untuk lembar observasi siswa yaitu pendahuluan proses pembelajaran, pengaturan
kegiatan pembelajaran, kegiatan utama pembelajaran, umpan balik terhadap hasil
diskusi, dan kegiatan penutup. Sedangkan indikator untuk lembar observasi guru
yaitu pendahuluan proses pembelajaran, pengaturan kegiatan pembelajaran,
membimbing siswa dalam kegiatan pembelajaran, pemberian umpan balik terhadap
hasil diskusi, dan menutup pembelajaran. (Lampiran 11 dan 12)
3.8
Uji
Coba Instrumen
3.8.1
Validitas
Butir Soal
Sebuah tes
dikatakan valid bila tes itu dapat mengukur apa yang hendak diukur. Rumus yang
digunakan untuk mengukur validitas tes dalam
penelitian adalah Rumus korelasi point biserial (Arikunto, 2012):
Keterangan:
rpbis = koefisien korelasi point biserial
Mp = mean skor dari
subjek-subjek yang menjawab betul item yang dicari
validitasnya
Mt = mean skor total (skor rata-rata dari
seluruh pengikut tes)
St = standar deviasi skor total
p =
proporsi subjek yang menjawab betul item tersebut
q =
proporsi siswa yang menjawab salah (1-p)
Harga rpbis yang diperoleh kemudian dikonsultasikan dengan harga rtabel
pada taraf signifikan 5%. Butir soal dikatakan valid apabila harga rpbis lebih
besar dari harga rtabel .
3.8.2
Reliabelitas Butir
Soal
Tes
dikatakan reliabel apabila tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.
Reliabilitas soal tes dalam penelitian ini diuji dengan menggunakan rumus
K-R.20 yaitu (Arikunto, 2012):
Dimana:
r11 =
reliabilitas tes secara keseluruhan
n =
banyaknya item
p =
proporsi subjek yang menjawab item dengan benar
q =
proporsi subjek yang menjawab item dengan salah
S =
standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar dari varians)
3.9
Analisis
Data
3.9.1
Analisis
Data Aktivitas Guru/Siswa
Skor
yang diperoleh dari lembar observasi selanjutnya dijadikan acuan untuk
menghitung skor akhir siswa. Skor akhir siswa dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut:
Skor
maksimal = skor maksimal tiap indikator x jumlah indikator
=
4 x 5
=
20
Untuk
menentukan kategori aktivitas guru/siswa, skor akhir guru/siswa tersebut
selanjutnya dikonsultasikan dengan Tabel 3.3.
Tabel 3.3
Kategori aktivitas
guru/siswa
Interval Skor
|
Kategori
|
3,33
< skor ≤ 4,00
|
Sangat
baik
|
2,33
< skor ≤ 3,33
|
Baik
|
1,33
< skor ≤ 2,33
|
Cukup
|
skor
≤ 1,33
|
Kurang
|
(Permendikbud
No.81 A tahun 2013)
3.9.2
Analisis
Data Prestasi Belajar Siswa
3.9.2.1
Uji
Normalitas
Pengujian
hipotesis pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan statistik parametris. Statistik parametris digunakan
untuk menganalisis data interval atau rasio, yang diambil dari populasi yang
berdistribusi normal (Sugiyono, 2013). Untuk mengetahui apakah data hasil belajar
dalam penelitian ini terdistribusi normal, maka dilakukan uji normalitas data.
Normalitas data dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Chi kuadrat (Sugiyono, 2013)
χ2hitung
=
Keterangan:
χ2 = Chi-kuadrat
fo = Frekuensi/ jumlah
data observasi
fh = Frekuensi/ jumlah
yang diharapkan
fo-fh =
selisih data fo dengan fh
Kaidah
keputusan:
Data akan terdistribusi normal apabila
χ2hitung ≤ χ2tabel pada taraf signifikan
yang digunakan sebesar 5%.
3.9.2.2
Uji
Homogenitas Varians
Uji
homogenitas sampel dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kedua kelas yang
dijadikan sampel penelitian adalah homogen. Homogenitas sampel dicari dengan
menggunakan rumus uji F yaitu:
(Sugiyono,
2013)
Varians masing-masing
kelas diperoleh dengan rumus:
Keterangan:
F =
indeks homogenitas yang dicari
S2 = varians
X =
nilai siswa
= rata-rata
n = jumlah sampel
Data
dikatakan homogen jika F hitung ≤ F tabel pada taraf signifikan 5%, dengan F tabel
= F 0,05 (v1V2).
Dimana v1 menyatakan derajat kebebasan pembilang dan v2
menyatakan derajat kebebasan penyebut, serta v = n-1
3.9.2.3
Uji
Hipotesis (Uji Beda)
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dan untuk
membuktikan hipotesis dapat dilakukan dengan uji beda (uji-t). Adapun rumus
t-test yang digunakan adalah sebagai berikut: (Sugiyono, 2013)
(1) Bila varian homogen dan jumlah
anggota sampel kedua kelompok sama, maka dapat digunakan rumus separated varian maupun polled varian dengan dk = n1+n2-2.
(2) Bila varian homogen tetapi jumlah
sampel kedua kelompok berbeda, maka rumus yang digunakan adalah pooled varians dengan dk = n1+n2-2.
(3) Bila varian tidak homogen tetapi jumlah sampel kedua kelompok sama,
maka dapat digunakan rumus separated varian maupun pooled
varian dengan dk = n1-1 dan dk = n2-1.
(4) Bila varian tidak homogen dan jumlah sampel kedua kelompok berbeda,
maka dapat digunakan rumus separated
varian dengan dk = n1-1 atau dk = n2-1.
Rumus Separated
Varians:
Rumus Polled
Varians:
Keterangan:
= rata-rata
sampel 1
= rata-rata
sampel 2
= varians sampel 1
= varians sampel 2
n1 =
jumlah sampel 1
n2 = jumlah sampel
2
Setelah uji hipotesis dilakukan, maka
terlebih dahulu hipotesis penelitian dinyatakan dalam analisis statistik yaitu:
Ho
: Model pembelajaran
kooperatif terpadu Numbered Head Together (NHT) dan Two
Stay Two Stray (TSTS) tidak memberikan pengaruh
yang lebih baik daripada metode
konvensional (ceramah dan diskusi) terhadap prestasi belajar kimia materi ikatan kimia pada
siswa kelas X IPA
SMAN 3 Mataram.
Ha
: Model pembelajaran
kooperatif terpadu Numbered Head Together (NHT)
dan Two
Stay Two Stray (TSTS) memberikan pengaruh yang
lebih baik daripada metode
konvensional (ceramah dan diskusi) terhadap prestasi belajar kimia materi ikatan kimia pada siswa
kelas X IPA SMAN 3 Mataram.
Kriteria
pengujian jika dan thitung ≥ ttabel
dengan taraf signifikan 5% maka Ho ditolak , untuk atau thitung
≤ ttabel maka Ho diterima.
Sedangkan uji Statistik Non
parametris digunakan jika data tidak terdistribusi normal. Salah satu jenisnya
adalah Uji Mann Whitney U-Test yang digunakan
untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel independen bila datanya berbentuk
ordinal. Terdapat dua rumus yang digunakan untuk pengujian yaitu: (Sugiyono, 2013).
dan
Dimana:
= jumlah sampel 1
= jumlah sampel 2
= jumlah peringkat sampel 1
= jumlah peringkat sampel 2
= jumlah rangking pada sampel 1
= jumlah rangking pada sampel 2
Kedua rumus ini digunakan dalam
perhitungan, karena akan digunakan untuk mengetahui harga U mana yang lebih
kecil. Harga U yang lebih kecil tersebut yang digunakan untuk pengujian dan
membandingkan dengan harga U tabel.
Bila n1 + n2
lebih dari 20, maka digunakan dngan pendekatan kurva normal rumus z. Adapun
rumus uji z yaitu:
Dimana
:
= jumlah sampel 1
= jumlah sampel 2
= nilai U terkecil
E(U) = rata-rata U
=
standar deviasi U
Kriteria pengujian jika zhitung > ztabel
dengan taraf signifikan 5% maka Ho ditolak dan sebaliknya jika zhitung ≤
ztabel maka Ho diterima.
Powered by Blogger.